Oleh : Yun Sirno
“Sudah baca (buku) Mylien, belum?”
“Apa yang dikatakan Hermawan Kertajaya tentang ini?”
"Google
tidak ngomong lagi tentang brand, tapi platform ...”
Wah senang rasanya mendengar dialog tim manajemen Sang Bintang School (SBS) seperti di atas. Tim manajemen sudah menemukan flow–nya ketika membahas masalah di lapangan. Mereka sudah punya rujukan ketika mentok pada suatu kasus di lapangan. Dan ketika tak ada rujukan, mereka mencoba mengakomodirnya dengan membuat pendekatan dengan teori lain.
Wah senang rasanya mendengar dialog tim manajemen Sang Bintang School (SBS) seperti di atas. Tim manajemen sudah menemukan flow–nya ketika membahas masalah di lapangan. Mereka sudah punya rujukan ketika mentok pada suatu kasus di lapangan. Dan ketika tak ada rujukan, mereka mencoba mengakomodirnya dengan membuat pendekatan dengan teori lain.
DARI BSC SAMPAI BLUE OCEAN
Senang rasanya,
mereka sudah menyebut nama guru marketing Asia, Hermawan Kertajaya dalam dialog
atau diskusi tentang kasus-kasus di lapangan. Apalagi mereka juga selalu
merujuk pada buku yang ia tulis: Marketing 3.0, Grow the Character.
Senang juga rasanya melihat anggota tim SBS bergantian membaca buku-buku Rhenald Kasali yang memang best seller seperti Recoding Your Change DNA, Powehouse, sampai Cracking Zone. Mereka juga mulai merasa penting dan bergairah ketika membaca majalah Swa, Marketing atau tabloid Kontan. Situs-situsnya pun mulai disambangi.
Memang saat dites, kebanyakan mereka belum terlalu memahami teori-teori manajemen mutakhir seperti BSC (Balanced Scorecard), Six Sigma, TQM, atau Blue Ocean Strategy. Tapi antusiasme yang mulai tumbuh adalah tanda bahwa waktunya sudah dekat. Diskusi-diskusi kami jadi sangat berisi. Solusi-solusi yang lahir menjadi sangat global, dan ide-ide yang keluar pun sudah didukung teori-teorinya.
TAK CUKUP DENGAN “MENGETAHUI
Tapi saya gak
bisa terlalu senang karena “mengetahui” baru langkah pertama dari 4 langkah
pembelajaran. Pembelajaran tak boleh hanya membuat orang “mengetahui”. Apa
gunanya “mengetahui” jika nggak bisa dipakai? Apa gunanya setumpuk teori tapi
tidak memberi nilai guna. Inilah kegelisahan Prof. Muhammad Yunus, guru besar
ekonomi di Universitas Bangladesh, ketika ia mengetahui bahwa ilmu nya yang
luar biasa tidak berpengaruh apa-apa terhadap kondisi negerinya. Ia merasa
sia-sia saja dengan ilmu ekonomi kelas satu yang ia gali dari Amerika, tapi
ternyata Bangladesh tetap menjadi salah satu negara termiskin di Asia.
Lalu apa yang kedua? Setelah “mengetahui” kita harus “bisa”. Setelah murid Anda tahu macam-macam tenses, Anda tak boleh senang dulu. Kita harus membuat mereka “bisa” memakainya di dunia nyata. Mereka harus “bisa” bicara, dan menuliskan gagasannya. Maka itu pula yang dilakukan sang profesor. Ia merasa harus mengubah sekedar “mengetahui”nya menjadi “bisa” membuat rakyat kaya.
Maka ia pun turun gunung dengan mengajari rakyat “ilmu ekonomi” riel dan membuat mereka bisa mengolah sumber daya yang dimilikinya.
Tapi cukupkah
“bisa” itu? Ternyata tidak. Banyak murid “bisa” mengerjakan soal, dan bisa
menjawab pertanyaan gurunya seketika itu. Tapi selepas dari SBS, bisa jadi
banyak siswa yang melupakannya. Kenapa? Apakah otak mereka tak cukup kuat untuk
merekamnya? Atau apakah sang instruktur mengajari tanpa kesan?
Oleh karena itu, saya tak cukup dengan menginstruksikan geniusmate (instruktur) untuk membuat siswa "bisa" dalam 6 minggu, tapi mareka harus dapat lebih dari itu. Kita tak cukup hanya membuat orang “bisa” tapi mereka harus mencapai tahap ketiga, yaitu “terampil”.
Apa itu “terampil”? Yaitu kondisi dimana kita bisa mengulang lagi ketrampilan yang kita miliki dengan segera dan dengan mudah. Seperti apa “terampil” itu? Seperti dengan mudahnya para montir membongkar dan memasang lagi motor-motor rusak kita. Seperti dengan sigapnya para polisi mengejar maling. Dan juga seperti dengan sigapnya para pencopet mengambil dompet kita. Mereka bukan sekedar “bisa” tapi sudah pada posisi “terampil”.
TERAMPIL SAMPAI PULUHAN CABANG
Maka jangan kaget
ketika mengajari orang membangun kemampuan finasialnya dengan mendirikan
Grameen Bank sekitar 30 tahun yang lalu, butuh waktu lama bagi sang profesor,
namun lama kelamaan, ia merasakan hal itu menjadi sangat mudah. Ia sudah
terampil mendidik dan mengangkat kaum miskin lewat pemberdayaan sosialnya.
Saking terampilnya, dalam waktu sekitar 20 tahun ia mudah saja mendirikan tak
kurang 2000 cabang Grameen di seluruh Bangladesh. "Terampil”
itu juga yang harus menjadi target kita kepada siswa. Siswa harus terus dilatih
ke”bisa”annya agar tahap “terampil” mereka capai. Jangan pernah puas saat
mereka “bisa” menjawab dan “bisa” mengisi tes. Tapi ulang lagi, dan ulang lagi.
Sampai level “terampil” sudah mereka sandang. Dan jika level “mengetahui” butuh
waktu, level “bisa” juga butuh waktu. Apalagi level “terampil”. Tentu butuh
waktu yang tidak sedikit. Jika untuk “mengetahui” dan “bisa” membutuhkan waktu
6 minggu dan Master Class, tak adil jika kita tidak mengangkat mereka untuk
“terampil”.
Inilah asal mula lahirnya program Golden Day.
Ayo latih terus
kemampuan bahasa Inggris yang sudah Anda miliki dengan berlatih lewat apapun:
tulisan, presentasi, pembuatan slide sampai video. Tuangkan ide-ide segar Anda
lewat kalimat-kalimat bahasa Inggris Anda. Sajikan lewat skill komunikasi Anda
di depan teman-teman Anda. Jangan malu dan ragu, jangan takut dikejar waktu.
Kita sudah berubah menjadi pembelajar sejati yang menikmati proses belajar
kita, yang menikmati pencapaian kita.
Selamat datang wahai jenius, be true learner, be geniuzen!
Selamat datang wahai jenius, be true learner, be geniuzen!
_______
summary:
Tuk jadi TAHU: membacalah atau sering lah mendengar kuliah/
seminar/ diskusi
Tuk jadi BISA: ikutlah training, les/ kursus
Tuk jadi TERAMPIL: praktek terus dan terus
Artikel menarik lainnnya :
Kuasai bahasa inggris hanya dalam 6 Minggu, MAU :)?
Info lebih lanjut hubungi :
http://wa.me/6281352480920
http://wa.me/6285733243496
No comments:
Post a Comment