Kebangkitan Nasional: Siap dengan Belajar Bahasa!
Oleh
: Yunsirno
20 Mei jadi tonggak yang dipilih sebagai hari
kebangkitan nasional tentu bukan main-main. Pada tanggal itu tepatnya tahun
1908 adalah tanggal berdirinya organisasi Budi Utomo (BU). Ejaan asli dan zaman
dahulunya adalah Boedi Oetomo. Itu adalah sebuah organisasi nasional yang sudah
bisa berdiri di saat bangsa kita masih dicengekeram kekuasaan asing Belanda.
Saat itu di BU sudah berkumpul cendikiawan dan sarjana pribumi yang cerdas dan
punya semangat tinggi meningkatkan harkat bangsa. Itu tahun 1908 lho. Lebih
satu abad yang lalu. Bahkan saat kebanyakan ayah dan ibu kita sendiri belum
lahir.
Artinya saat itu
sebenarnya bangsa kita sudah punya banyak kader yang cerdas. Kader yang siap
memimpin bangsa ini. Dan BU itu ternyata bukan yang pertama dan satu-satunya
lho. Masih banyak organisasi pergerakan pemuda pribumi lainnya yang didirikan
para pemuda. Sebut saja ada Serikat Islam. Lalu ada Indesche Partij. Sampai
Perhimpunan Indonesia. Mungkin kalau yang suka baca sejarah atau ingat
pelajaran sejarah di sekolah dulu tahu nama-nama tersebut.
Dan kader-kader
terbaik bangsa itu sudah bicara dan beraksi di pentas nasional. Walaupun saat
itu tentu halangan dari penjajah Belanda ada dan nyata. Dan mereka bukan hanya
lulusan kampus-kampus dalam negeri lho. Tapi tak sedikit yang merupakan alumni
kampus luar negeri. Padahal itu di kalanegeri kita masih dalam cengekeraman
asing, bukan?
Maka mereka
bergerak berkelindan bahu membahu menyusun persatuan bangsa. Lalu muncullah
tonggak agenda Sumpah Pemuda yang sangat heroik dan monumental itu, pada 28
Oktober. Itu artinya sekitar 20 tahun sejak berdirinya BU. Jadi bangsa ini
sebenarnya bukan baru lahir sejak 17 Agustus 1945 itu lho. 1945 hanya momentum
keberanian bangsa ini benar-benar lepas dari cengkeraman asing.
Kehebatan
kader-kader bangsa itu melegenda. Siapa tak kenal Soekarno, Muhammad Hatta,
Muhammad Yamin, Sutan Syahrir, Agus Salim sampai Tan Malaka? Belum lagi
kader-kader muda yang berjuang secara lokal.
Di tulisan ini
saya mau mengulik sedikit hal yang menarik diluar perjuangan mereka.
Perhatikan. Mungkin pembaca tahu dan pernah mendengar bahwa ternyata penguasaan
bahasa mereka luar biasa, baik bahasa daerah maupun bahasa asing. Kita mulai
dari presiden pertama, Soekarno. Tercatat Soekarno menguasai 6 bahasa asing. Tercatat
Bahasa Inggris, Arab, Jepang, Belanda, Jerman dan Prancis. Tidak melupakan
lokal, ia juga bisa bahasa Jawa, Sunda,dan Bali. Wapres pertama kita Muhammad Hatta.
Ia menguasai bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman. Adam Malik diketahui
menguasai Bahasa Inggris, Belanda, Arab, dan Jepang. Bahkan Agus Salim
menguasai sampai 9 bahasa asing, diantaranya Bahasa Inggris, Jerman, Prancis,
Arab, Turki dan Jepang. Padahal ia cuma lulus SMA lho.
Lalu si Perdana
Mentri pertama kita, Muhammad Natsir. Ia diketahui menguasai bahasa Inggris,
Belanda, Prancis, Arab, Jerman,dan Spanyol. Kemudian Tan Malaka, menguasai
sampai 6 bahasa asing. Yaitu Bahasa Inggris, Belanda, Rusia, Jerman, dan
termasuk bahasa asia yaitu Tagalog (Filipina), dan Mandarin. Ingat lho itu di
masa lalu, lebih seabad yang lalu. Bahkan belum juga merdeka. Tapi para
pemimpin kita saat itu sepertinya sudah siap dengan dunia global. They are
ready to global.
Kenapa saya
ungkapkan itu. Karena coba kita bandingkan dengan para pemimpin kita saat ini
atau kita calon pemimpin masa depan. Seberapa banyak kah yang menguasai bahasa
inggris dengan baik? Atau ada kah yang bisa mengikuti Soekarno cs yang
menguasai minimal 3-5 bahasa asing? Ingat lho, mereka hidup di zaman sebelum
merdeka, lebih seabad lalu. Zaman dimana boro-boro ada internet, telpon aja
kayak bagaimana bentuknya, dan bagaimana susahnya mencari orang yang
memilikinya.
Dengan teknologi
yang saat ini sangat maju, akses pendidikan dan komunikasi ke dunia luar yang
sangat mudah, tidak kah mestinya sekarang kita bisa lebih siap dibanding
mereka? Minimal menguasai alat komunikasinya dulu yang bernama bahasa
internasional (bahasa asing). Ini jika mau disebut siap untuk maju dalam
percaturan global.
Jika tidak, jangan-jangan
kita malah makin mundur sebagai bangsa. Jika kita sadar itu bahwa kebangkitan
bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti penguasaan bahasa asing, maka sepertinya
kita layak merenung. Merenungi bahwa kebangkitan nasional yang sudah ke-112
tahun ini mesti dihiasi dengan keprihatinan bahwa kita ternyata belum begitu
serius atau siap untuk bangkit jadi global player.
No comments:
Post a Comment